Sungai Brantas
Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo.
Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu), lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Kali Brantas mempunyai DAS seluas 11.800 km² atau ¼ dari luas Provinsi Jatim. Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. Curah hujan rata-rata mencapai 2.000 mm per-tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% jatuh pada musim hujan. Potensi air permukaan pertahun rata-rata 12 miliar m³. Potensi yang termanfaatkan sebesar 2,6-3,0 miliar m³ per-tahun.
Sungai Brantas Dalam Sejarah
Sejak abad ke 8, di DAS Kali Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Kali Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Kali Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yakni Kali Harinjing (Lombard, 2000).
Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi. Merujuk khazanah sastra Jawa, sungai Brantas ini yang diduga kuat disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Bujangga Manik.
Permasalahan Utama
Permasalahan pokok di DAS Kali Brantas adalah fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua peristiwa: kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kegagalan panen dan kelaparan menjadi akibat dari kekurangan air di musim kemarau, sebaliknya di musim hujan terjadi bencana yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa. Selain itu, kondisi aliran air Kali Brantas juga terkendala oleh endapan sedimen yang dihasilkan letusan Gunung Kelud (+1.781). Setiap 10 hingga 15 tahun, gunung ini meletus – melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian tengah dari DAS Kali Brantas – yang pada akhirnya menimbulkan gangguan fluvial pada aliran air Kali Brantas (Valiant, 2005).
Pengembangan Sumberdaya Air
Pengembangan DAS Kali Brantas dengan pendekatan «modern» dimulai sejak 1961 berlandaskan prinsip «satu sungai, satu rencana, satu manajemen terpadu» yang dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan kebijaksanaan pemerintah dari waktu ke waktu. Pengembangan dilakukan melalui 4 (empat) rencana induk pengembangan DAS. Sasaran utama rencana induk berturut-turut adalah pengendalian banjir (1961), penyediaan air irigasi (1973), penyediaan air baku (1985) dan konservasi dan manajemen sumberdaya air (1998). Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut:
* Rencana induk pertama memiliki sasaran pengendalian banjir oleh karena tanpa pengendalian maka pengembangan yang lain tidak bisa dilakukan. Pengendalian banjir dilakukan dengan membangun sejumlah bendungan untuk menampung kelebihan air, perbaikan alur sungai di bagian tengah DAS dan pembuatan jalur pelepas banjir (flood way). Selain itu disiapkan pula sistem peringatan dini banjir dan jejaring pemantauan hidrologi.
* Rencana induk kedua memiliki sasaran penyediaan air irigasi, seiring kebijakan Pemerintah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional dengan memperluas pertanian berbasis irigasi teknis. Sejumlah bendung dan bangunan pengambilan air dibangun dalam tahapan rencana induk ini.
* Rencana induk ketiga memiliki sasaran penyediaan air baku, khususnya pelayanan air di daerah tengah dan hilir dari DAS Kali Brantas. Sejumlah bendung, sistem suplesi (penambahan debit) dan infrastruktur lain yang dapat dipakai melayani air baku dibangun dalam tahapan rencana induk ini.
* Rencana induk ke empat ditekankan pada konservasi dan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan air tidak saja mencakup aspek kuantitas namun juga ke arah pengendalian kualitas – walaupun masih bersifat terbatas. Dalam tahap ini dikembangkan sistem pengelolaan informasi hidrologi.
Hasil pengembangan menghasilkan sejumlah besar prasarana pengairan. Manfaat pembangunan antara lain: pengendalian banjir 50 tahunan di sungai utama yang mengurangi luas genangan sekuas 80.000 ha; irigasi untuk sawah seluas 345.000 ha dimana 83.000 ha berupa irigasi teknis langsung dari sungai induk (2,5 miliar m³ per-tahun), energi listrik 1.000 giga-W-jam per-tahun, suplai air baku untuk industri 130 juta m³ per-tahun dan domestik 240 juta m³ per-tahun.
Penduduk di wilayah sungai Kali Brantas mencapai 15,2 juta orang (1999) atau 43% dari penduduk Jatim dan mempunyai kepadatan rata-rata 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata Jatim. Adapun Kali Brantas mempunyai peran yang cukup besar dalam menunjang Provinsi Jatim sebagai lumbung pangan nasional. Dalam tahun 1994–1997, Provinsi Jatim telah memberi kontribusi rata-rata 470.000 ton beras/tahun atau sebesar 25% dari stok pangan nasional.
Pada pertengahan tahun 1980-an mulai timbul masalah mengenai «siapa» yang diberi tugas untuk mengelola bangunan prasarana pengairan pasca proyek agar bangunan, dengan total investasi tertanam di Kali Brantas sebesar Rp 7,38 triliun (nilai tahun 2000), dapat berfungsi sesuai yang direncanakan. Persoalan pengelolaan pasca pembangunan tersebut, terutama dalam hal institusi, sumberdaya manusia dan pendanaan. Mengacu pada pengalaman negara maju dan berdasar peraturan-perundangan yang ada serta untuk menjaga keberlanjutan fungsi prasarana pengairan tersebut, maka Pemerintah membentuk Perum Jasa Tirta I selaku BUMN pengelola Kali Brantas pada tahun 1990.
Lumpur Lapindo
Terkait dengan dengan luapan lumpur hidrokarbon dari Desa Siring Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo yang dikenal dengan LumpurLapindo, aliran sungai ini dipergunakan untuk menggelontor sebagian semburan lumpur ke selat Madura. Sebagian lumpur ini dipompa masuk ke salah satu anak sungai di hilir, yakni Kali Porong.
Beberapa bendungan besar di sepanjang aliran sungai ini maupun di anak-anak sungainya, diantaranya:
* Bendungan Sengguruh
* Bendungan Sutami (atau yang disebut juga Waduk Ir. Sutami)
* Bendungan Lahor
* Bendungan Selorejo
* Bendungan Wlingi
* Bendungan Bening
Semua bendungan di atas dikelola oleh Perum Jasa Tirta I
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
07 September 2010
Langganan:
Postingan (Atom)